Namaku Remora, tapi semua memangil cukup dengan “Re” saja, saat ini usiaku tepat 22 tahun. Dan aku bersyukur telah dihadirkan di dunia di antara orang-orang yang penuh kasih.
“Hei lagi ngelamun yah?” si jail mengagetkanku. Sebenarnya dia
punya nama yang bagus tetapi lebih suka kujuluki seperti itu karena
selalu muncul disetiap aku butuh waktu untuk sendiri. Tapi walau
bagaimana pun dia tetap kakakku yang paling baik.
“Ah kakak ngapain sih pake acara ngeganggu aja…”
“Emang lagi mikirin siapa sih dek?“ Kak Rama semakin antusias menggoda.
“Lagi mikirin, gimana caranya supaya Kak Rama punya kerjaan lain selain gangguin aku.”
“Ngeganggu? aku tuh kesini bawain ini nih, kamu dapat kiriman paket, mestinya makasih malah dituduh ngeganggu” Ucap Kak Rama sambil berlalu dengan tingkah menggelikan.
“Iya deh, makasihhhhh…..” ucapku setengah teriak menghantar kepergian Kak Rama.
Buru-buru kubuka paket itu, tapi kemudian terhenyak menyadari yang
kuterima bukanlah paket biasa karena isinya ternyata sebuah buku diary tua dan yang lebih mengejutkan, kenyataannya tak ada nama, serta alamat pengirimnya.
Kurasakan sesuatu yang lain, seperti mengenal dan pernah melihat diary ini
sebelumnya, dan ini membuat aku merinding sendiri. Menyentuh diary tua
ini seperti merasakan suatu energi yang mengisi jiwa dan memompa
jantungku lebih cepat dari biasanya.
”Ahh, aneh” batinku.
**********
“Melati… maaf aku akan pergi…” terdengar suara yang sendu di balik punggungku.
“Jangan Arga aku membutuhkanmu tuk tetap disini, aku tak peduli walau semua menentang kita.”
“Mel… mungkin ini yang terbaik……..” ucap Arga dan melangkah pergi setelah nenyerahkan sebuah benda padaku.
“Jangannn…..kumohon!! jangan Arga!!!”
Seketika aku terjaga dan tersadar ada bekas airmata di wajahku. Oh Tuhan
apa yang telah terjadi padaku? siapa melati?? dan apa hubungannya
dengan kehidupanku? mengapa wajahnya mirip denganku! Oh god! aku
teringat sesuatu, ini pasti ada hubungannya dengan buku itu, sebab benda
itulah yang ada dalam mimpiku. Ada apa ini semuanya semakin menjadi
misteri di hatiku. Oh Tuhan aku bingung, ada apa ini?
Mimpi itu masih saja mengganggu, aku tak pernah merasa sebingung ini.
Aku lelah memikirkannya. Terbersit ide untuk meyingkirkan Diary itu,
karena itulah sumbernya. Mungkin dengan begitu aku akan terbebas, dan
bisa menguca “sayonara mimpi aneh”.
Dan akhirnya telah dan dengan sengaja kutinggalkan benda itu di dalam
bis, dengan penuh kelegaan aku melangkah pulang, tak ada lagi yang akan
mengusik tidurku.
“Na..na..na..aku bebas, aku bebas!” senandungku lirih.
*********
Tak dinyana, apa yang kulihat begitu mengguncang batin. Diary itu,
dengan pongahnya bertahta di atas bantal hati di dalam kamarku. Bulu
kudukku berdiri, belulang di tubuh bergetar sejurus kemudian dengan
nyali yang ciut kusapa lembar-lembarnya yang beberapa hari ini
kuabaikan.
Semuanya semakin mengusutkan otak, kurasa ada baiknya mengikuti saran
mama untuk ikut pindah ke sebuah kota kecil tempat tugas papa yang baru,
hitung-hitung cari suasana baru dan mungkin saja semua misteri ini
berakhir.
Bergegas kutemui mama dan mengutarakan keinginanku, sejenak mama
terbengong sambil memandangku. Sebelum mama mengeluarkan seribu
pertanyaan aku segera berlari menuju kamar dan bergegas menutup kembali
pintu kamarku menghindari pandangan keheranan mama sembari berharap mama
tidak meneror dengan berbagai pertanyaan atas keputusanku mengikuti
mereka pindah.
Keputusan dadakan ini membuat orang-orang terdekatku merasa bingung
melihat perubahanku, terlebih lagi aku begitu semangat untuk segera
pindah.
“Re… buka sebentar sayang, mama mau bicara sama kamu…!”
”Ma… aku hanya merasa tak bisa jauh dari mama. Itu saja kok!” akhirnya aku menemukan satu alasan yang membuat mama berhenti curiga.
*************
”Inikah rumah yang kutuju? Benarkah ini?”
Mengapa aku merasa rumah ini tak asing bagiku, seakan-akan jiwaku berkata “Aku pulang”.
“Re.. kok bengong? Nyesal ikut pindah ke sini?” Suara mama mengagetkan.
“Ah.. mama, aku hanya merasa seperti pernah kesini” jawabku
“Ah.. itu hanya perasaanmu saja, walau pun sebenarnya kita ada
hubungan dengan kota ini, tapi kita sekeluarga baru kali ini ke sini.”
“Hubungan? Maksud mama apa?” aku semakin merasa aneh.
“Orang tua kakekmu yang dari papa sebenarnya orang asli dari sini” ucap mama sambil menggandengku masuk.
Ternyata aku salah, keputusanku untuk pindah bukan menyelesaikan
kegalauanku tetapi semakin menjebakku ke dalam situasi yang rumit.
Setiap sudut kota ini kian menguatkan sosok Melati dalam diriku. Kini
bukan hanya mimpi tapi kadangkala aku merasa benar-benar menjadi Melati.
Seminggu berada di kota ini belum banyak yang kulakukan kecuali
berkeliling mengikuti kehendak Melati dalam diriku. Seperti yang
kulakukan saat ini, tanpa kusadari telah berdiri mematung di depan
sebuah rumah yang entah milik siapa.
“hai” sapa sesosok lelaki yang mungkin tanpa kusadari telah
memperhatikanku dari tadi.Lututku bergetar, nafasku mendadak sesak saat
menyadari dia adalah lelaki yang ada di mimpiku bersama Melati. Rasanya
ingin segera melarikan diriku tapi seakan bumi manjadi magnet untuk
langkahku.
Oh… Tuhan apa ini? Siapa dia? apakah sama sepertiku terbelenggu oleh sosok yang ada di mimpiku atau dia …. Hantu!!!!!!!.
“Ada yang bisa saya bantu? Kau kelihatannya sangat bingung.” Sosok tampan mencoba menegurku.
“Emm… tidak , hanya kebetulan lewat saja, maaf permisi aku harus pergi sekarang.” Aku mencoba menenangkan diri dan mulai beranjak pergi.
Jantungku sudah tidak berdetak lagi rasanya. Sebenarnya dia sangat
tampan, tapi melihatnya buatku begitu takut sebab dia adalah bagian dari
misteri ini. Seandainya saja sosok Melati tak pernah hadir di hidupku
mungkin aku dengan senang hati berlama-lama memandangnya, atau mungkin
aku sedikit menebar pesona. “Ah.. bisa-bisanya aku menghayal sejauh itu !” hatiku mengejek diriku sendiri.
“Hei tunggu” suara itu semakin buat jantungku diam.
“Apa kita pernah ketemu? Sepertinya wajahmu tak asing” katanya lagi.
“Namaku Erwin” katanya kemudian di tengah bisuku.
“Remora, panggil Re saja” akhirnya jantungku kembali berdetak.
Dia bukan Arga, lelaki yang bersama Melati dalam mimpiku. Tapi dia
siapa? Mengapa wajah sama?
“Itu rumah kakekku” katanya sambil menunjuk rumah tempatku tertegun tadi.
“Oh, rumah yang cantik”
“Singgahlah kapan-kapan jika kau ada waktu”
“Makasih”
********
“Re, aku menemukan jawabannya” suara Erwin beresonansi dengan semilir angin pantai tempat kami memijak pasir yang basah oleh ombaknya.
“Jawaban apa?”
“Tentang wajahmu yang serasa tak asing waktu pertama kali bertemu”
“Jangan bercanda, kita memang baru kali itu bertemu kan?”
“Iya”
“Lalu ?”
“Jawabannya ada di rumah kakekku” katanya sambil menggandeng
tanganku menuju rumah dengan gaya arsitektur klasik yang tak jauh dari
pantai. Dan aku tak menolak sama sekali karena terdorong dengan rasa
penasaran. Mungkin ini juga adalah jawaban dari keanehan yang kurasa.
“Lihatlah” katanya sambil membuka sehelai kain warna ungu muda yang menutupi sebuah pigura besar.
Mematung. Hanya itu yang kurasa. Lukisan itu memang sangat mirip denganku. Disudut bawah pigura tertulis “Kekasih yang kumiliki hanya dalam khayal… Melati”.
Keping waktu yang berputar
Ingatkan hati tuk pulang sejenak……
Mungkin membalas kepergian
Setelah berjanji pada satu hati yang tergoda
Kutahu kau kan pulang kekasih,
Membawa hati yang dulu berlari meninggalkanku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar