Sejak kembali aktif menulis di berbagai media di tanah air, setelah
hampir sembilan tahun vakum karena kesibukan kerja dan perjuangan hidup
lainnya di perantauan, beberapa nama yang cukup dikenal di tanah air
kembali mengontak saya melalui e-mail. Ada beberapa hal yang saya
perhatikan dari komunikasi dengan mereka tersebut, yang sebenarnya cukup
menarik ditinjau dari perbedaan kultur dan beberapa jenis perbedaan
lainnya.
Pertama, kultur Indonesia sangat membedakan kelas sosial. Karena jurang
ini, maka komunikasi antar pribadi sering kali menjadi "terhalang" oleh
birokrasi yang sebenarnya tidak perlu eksis. In the end, komunikasi
terhalang, sehingga hasil akhir bisa jadi kurang optimal.
Contohnya saja, dengan menyuruh sekretaris untuk mengetikkan e-mail,
sebenarnya ada
beberapa hal yang cukup transparan, salah satunya adalah tingginya"
status sosial orang
tersebut sehingga ia lebih senang segala sesuatu dioperasikan oleh orang
lain (terlepas dari sibuk atau tidak sibuknya seseorang).
Saya sendiri selama di perantauan belajar untuk down-to-earth, dari ke
mana-mana
diantarkan oleh supir menjadi my own personal driver alias nyupirin diri
sendiri. Dari seringnya menyuruh-nyuruh errand runner ("office boy"
kalau di Indonesia), sekarang membersihkan toilet di kamar mandi pun
sendiri, padahal di kartu nama saya, tercantum jelas posisi saya sebagai
Chief Executive Officer.
Perjuangan hidup yang keras membuat saya sangat menghargai pekerjaan
"sepele" demikian, dari menjawab semua e-mail sendiri, termasuk e-mail
dari "fans," menjawab telpon sendiri, memasak sendiri (well,
kadang-kadang makan di restoran juga kalau sudah jenuh), membersihkan
rumah sendiri, menjawab semua pertanyaan mahasiswa saya sendiri, sampai
mempersiapkan proyek-proyek konsultasi saya yang bernilai ribuan bahkan
puluhan ribu dollar sendiri. Di lain kesempatan, saya pula yang membawa
mobil ke bengkel untuk segala macam tetek-bengeknya.
Di samping itu saya sendiri pula yang memilih produk-produk investasi
sebagai safety net masa depan. On top of that, sebagai seorang istri,
saya juga mesti make sure bahwa rumah tangga berjalan dengan
sebaik-baiknya dan rumah dalam keadaan sebersih-bersihnya, sehingga
suami merasa nyaman.
Jadi, pekerjaan saya merangkap dari pembantu rumah tangga, office girl,
ibu rumah tangga, CEO, guru, konsultan, CFO dan CIO. Kalau tidak
percaya, Anda bisa tes pengetahuan saya soal membersihkan spot di
karpet. Juga cara memilih pakaian yang bisa dicuci dengan mesin cuci
tanpa menyebabkan banyak kerutan. Di samping itu, Anda juga bisa ajak
saya menganalisa harga properti di berbagai negara, termasuk AS,
Australia dan Inggris. Apalagi soal eCommerce.
Mungkin pengetahuan ini bisa saya tuangkan dalam 10 buku. Saya punya
pilihan dan financial resources untuk tidak down-to-earth, namun saya
memilih untuk down-to-earth
karena perasaan gratitude yang besar.
Dengan beraktifitas sebagaimana seorang pembantu rumah tangga, apakah
ini berarti kelas sosial saya turun? Anda bisa menjawab sendiri, karena
sebenarnya kelas sosial tidak ada hubungannya sama sekali dengan
pekerjaan-pekerjaan "sepele" yang down-to-earth, yang kadang-kadang di
pandang "rendah." Bahkan teman-teman saya yang masih gadis tidak jarang
yang berkata, "Setelah menikah, gua cuma jadi babu saja di rumah."
Sayang, ternyata banyak manusia yang memberi "nilai" bagi suatu
pekerjaan, padahal semua itu sama saja di dalam spiritual realm.
Semua itu merupakan meditasi yang kembali mengingatkan saya akan akar
perjuangan hidup saya. Sesuatu yang sangat saya hargai setiap hari.
Bahkan, ini juga mengingatkan bahwa saya ini dalam keadaan kesehatan
yang baik, sehingga bisa mengerjakan ini semua. Bukankah dengan demikian
artinya menyapu dan mencuci piring adalah berkah yang tidak terhingga?
Bahkan dalam ajaran Zen, seorang pengikut pemula diwajibkan untuk selalu
membersihkan dwelling-nya dengan penuh awareness.
Berkah yang lainnya adalah kesempatan saya untuk berkomunikasi sama
tinggi dengan orang lain tanpa perantara birokrasi yang tidak perlu.
Bahkan walikota New York City Mayor Bloomberg saja menerima telpon di
rumah sendiri.
Nomor telponnya bisa dicari di buku telpon (white pages) kota New York,
dan semua warga kota itu punya akses untuk menelponnya secara langsung.
Hal seperti ini di dalam arena percaturan politik suatu negara merupakan
contoh demokrasi yang paling nyata. (Yang jelas Pak Bloomberg ini luar
biasa sibuknya karena memanage satu kota yang bukan main kompleks bahkan
satu perusahaan saja, semestinya tidak ada alasan untuk tidak
down-to-earth.
Semuanya adalah pilihan.)
Bukankah sayang sekali jika kita menciptakan barrier dengan orang lain
demi "meninggikan status sosial" kita, padahal ini tidak menguntungkan
bagi diri kita sendiri? Kalau Mayor Bloomberg saja begitu down-to-earth,
bukanlah tempatnya bagi saya untuk tidak berbuat demikian, bukan?
Kedua, menjadi pelayan bagi diri sendiri dan orang lain merupakan
ungkapan penghargaan yang sebesar-besarnya akan apa yang kita miliki.
Orang-orang religius menyebutnya sebagai "give thanks for God's
blessings."
Dengan memijak bumi sedemikian dalamnya, maka langit (sebagai analogi
dari Yang Maha Kuasa) semakin dijunjung.
Sebaliknya, semakin tidak memijak bumi, selain direct communications
dengan orang lain tidak berjalan dalam garis paralel (yang nota bene
memungkinkan terjadi berbagai jenis misunderstanding), awareness yang
dimiliki tidak diasah sebagaimana mestinya.
In the end, segala macam intelligences (multiple intelligences) bermuara
kepada awareness. Ini juga yang menyebabkan mengapa many smart people
do stupid things (banyak orang pintar yang melakukan hal-hal bodoh).
Tentu saja untuk seorang bodoh seperti saya, semakin perlu bagi saya
untuk meninggikan awareness supaya suatu hari saya bisa keluar dari
belenggu kebodohan saya.
Salah satu cara yang jitu adalah berpijak kepada bumi (down-to-earth)
dalam kehidupan
sehari-hari dan selalu ingat bahwa dengan berlaku demikian, semakin
banyak pintu yang akan terbuka karena law of attraction.
Prinsip ini memungkinkan orang-orang yang sejenis kepribadiannya untuk
saling tertarik. Jelas saya sendiri lebih tertarik untuk bergaul dengan
orang-orang yang terbuka hati dan pikirannya serta down-to-earth
daripada yang inferior dengan cara menutupi kekurangannya melalui
penggunaan status sosial orang lain.
Percayalah akan kemampuan Anda dalam berkarya dan pijaklah pada bumi
senantiasa. Langit pun akan kau junjung.
Sumber: Memijak Bumi, Menjunjung Langit oleh Jennie S. Bev. Jennie S.
Bev
Tidak ada komentar:
Posting Komentar